Selasa, 04 Juni 2013

Hak Tahu Para Pengaju Proposal dan Publik


Opini
4 halaman
23,5 x 31,5 cm
Oleh: Pius Widiyatmoko

Belanja bantuan sosial Provinsi Jawa Barat bertambah sebesar Rp 6 miliar di APBD Perubahan 2012. Sementara bantuan hibah bertambah Rp 1,642 triliun. Total Bansos menjadi Rp 19,335 M dan Hibah menjadi Rp 6,493 T di tahun 2012. Pertambahan bantuan hibah 273 kali lebih besar dibandingkan pertambahan bantuan sosial.

Jika membandingkan dengan APBD penetapan tahun 2011, maka akan terlihat pergeseran mencolok antara bantuan hibah dan bantuan sosial. Pada tahun tersebut jumlah belanja hibah lebih kecil, yaitu sebesar Rp 268,887 M. Sedangkan alokasi bantuan sosial adalah Rp 335,892 M.

Di APBD penetapan tahun 2012, alokasi hibah melambung tinggi menembus angka triliun, menjadi Rp 4,851 T. Lompatannya mencapai 1800%. Nasib berbeda menimpa alokasi bantuan sosial yang justru merosot tajam di Rp 13,335 M. Kejatuhannya menjadi 1/25.

Untuk mengakses kedua jenis belanja di atas, para pemohon harus mengajukan surat permohonan tertulis atau proposal. Sayangnya, pengaju proposal dan publik tidak mungkin memantau perkembangan permohonan tersebut karena hal ini tak pernah diumumkan secara terbuka.

Jika kita memperhatikan situs pemerintah provinsi Jawa Barat atau Biro Keuangan-Setda Jabar dan menelusuri semua tautan, tidak satupun dari keduanya mencantumkan informasi publik penting terkait hibah dan bantuan sosial, yaitu siapa penerimanya, alamat, berikut besaran nilai rupiah yang diterima.

Para pemohon hibah sendiri menurut peraturan adalah pemerintah, pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Sedangkan pemohon bantuan sosial yang mungkin ialah individu, keluarga, masyarakat atau lembaga non pemerintah.

Di dalam Pergub Jabar No. 55 tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, proses pengajuan proposal berlangsung beberapa tahap seleksi.

Semua pemohon mengajukan proposalnya ke Gubernur. Kemudian dengan bantuan Sekretaris Daerah proposal-proposal yang masuk, disebarkan ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait, untuk mendapatkan evaluasi. Setelah itu, Sekretaris Daerah yang bertindak sebagai Ketua TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) juga memberi pertimbangan terkait kemampuan keuangan daerah. Hasil proses ini adalah munculnya Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja Hibah (DNC-PBH) dan Daftar Nominatif Calon Penerima Belanja Bantuan Sosial (DNC-PBBS). Melalui tangan kepala daerah, para penerima dituangkan dalam lembar persetujuan Gubernur.

Proses berlanjut dengan legalisasi penerima final. Legalitas nama dan alamat lengkap penerima serta besaran dan jenis hibah dan bantuan sosial tertuang dalam penjabaran APBD yang berbentuk peraturan gubernur.

Begitu ditetapkan dalam penjabaran APBD menjadi penerima hibah atau bantuan sosial, maka jalinan yang terbangun seharusnya adalah kewajiban pemerintah provinsi untuk memenuhi hak penerima dalam bentuk pencairan sesuai dengan yang tertera.

Akan tetapi jika dikondisikan informasi penerima final tetap dirahasiakan, maka jalinan yang terbangun akan berbeda. Bukan lagi hak penerima yang mengemuka, tapi kebaikan pemberi bantuan sosial atau hibah (pemerintah provinsi-red). Situasi ini sangat rentan ditransaksikan dengan mengurangi nilai hibah atau bantuan sosial dengan imbalan bisa dicairkan dan/atau pencairan yang cepat. Atau dicairkan, asalkan memenuhi keinginan tertentu.

Nama penerima final juga rentan diganti tanpa seorangpun tahu. Baik diganti dengan penerima fiktif ataupun nyata. Kemungkinan lain adalah pengaju proposal harus mengeluarkan biaya ekstra, hanya untuk tahu apakah dirinya berubah menjadi penerima hak atau bukan.

Selain hak tahu pengaju proposal apakah dirinya menjadi penerima final apa tidak (termasuk di dalamnya, apakah lolos evaluasi OPD, apakah tercantum dalam DNC-PBBS/DNC-PBH), hak tahu tentang kapan hibah dan bantuan sosial itu akan dicairkan juga tidak diakui. Kewajiban Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberitahukan kedua hal tersebut tidak disinggung sama sekali di peraturan gubernur di atas.

Untuk mencegah persepakatan terselubung antara pemerintah provinsi dan penerima hibah dan bantuan sosial, publik pun berhak tahu berapa banyak alokasi dana yang diberikan dan kepada siapa saja. Apalagi Putusan Komisi Informasi Jawa Barat No.068/PNTP-MK.A/KI-JBR/XI/2012, hasil permusyawarahan Majelis Komisioner Dan Satriana, Anton Minardi dan Budi Yoga Permana , tertanggal 6 November 2012, antara Perkumpulan INISIATIF v Setda Prov.Jabar, menyatakan bahwa informasi nama penerima, alamat dan nilai rupiah bantuan sosial APBD Jawa Barat 2011, 2012 merupakan informasi yang terbuka. Hal ini perlu ditindaklanjuti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan mengumumkan ketiga informasi tersebut melalui situs resminya.

Saat ini sedang berlangsung sidang sengketa informasi ajudikasi non litigasi No. 285/P-C1/PSI/KI-JBR/XI/2012, yang ditangani Majelis Komisioner Anton Minardi, Budi Yoga Permana dan Anne Friday Safaria, antara Perkumpulan INISIATIF v Setda Provinsi Jawa Barat soal informasi nama penerima, alamat dan nilai rupiah bantuan hibah APBD Jabar 2011, 2012, yang rencananya diputus akhir Januari atau awal Februari 2013.

Seperti informasi bantuan sosial, Badan Publik Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat memilih merahasiakan informasi hibah, dengan tidak memberikan informasi itu saat diajukan surat permohonan maupun surat keberatan sesuai mekanisme Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Pernah dipublikasikan dalam HU Bandung Ekspress (Senin, 28 January 2013) dalam judul “Bansos: Antara Realitas dan Kebutuhan Publik”.
Disqus Comments